Cerpen suka-suka saya

Kisah Tes Wawancara yang Tidak Usah Ditiru

Kisah Tes Wawancara yang Tidak Usah Ditiru

No image

Salam Pardes dan 5 Sahabat Hantu!

Manusia harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tapi, saat manusia itu supaya bisa mendapatkan pekerjaan. Mereka harus melewati beberapa tahap untuk bisa mendapatkan pekerjaan. Tahap pertama tentu saja, manusia harus mencari info lowongan kerja yang sesuai dengan pendidikan dan kemampuan. Setelah itu, jika tempat kerja /perusahaan tertarik dengan latar belakang pendidikan dan kemampuan maka tempat kerja akan memanggil manusia pencari kerja untuk tes lanjut. Biasanya, tes lanjutan itu berupa tes psikotest, jika lolos lajut FGD, jika lolos lagi maka akan dipanggil tes wawancara. Tes wawancara juga ada beberapa tahap.  

Akan sangat menyenangkan jika manusia pencari kerja telah melewati beberapa tahap yang kemudian manusia pencari kerja ini akan menghadapi tes wawancara akhir. Pada tulisan ini saya akan bercerita tentang pengalaman saya saat mengikuti tes wawancara.

Ada hal menarik saat saya ikut tes wawancara, biasanya setelah pihak perusahaan melemparkan pertanyaan kepada saya, setelah saya menjawab, maka mereka akan tersenyum aneh, bahkan mereka terkadang agak terkejut dengan jawaban saya. Berikut ini beberapa pertanyaan dari pihak pewawancara yang ketika saya menjawab pertanyaan tersebut, muka mereka menjadi aneh.

Ketika saya ikut tes wawancara di sebuah lembaga keuangan

Waktu itu, ada seorang manager atau mungkin juga kepala manager yang mewawancarai saya. Pewawancara ini memakai jas hitam mengkilat dan penampilannya sangat meyakinkan. Pewawancara ini berjenis kelamin laki – laki. Saya mendapat giliran masuk setelah saya menunggu cukup lama. Laki – laki berjas ini membaca berkas – berkas saya. Ia manggut – manggut saat membaca berkas lamaran saya. Mula – mula ia bertanya tentang latar belakang keluarga (pekerjaan ayah, pekerjaan ibu dll), kemudian dia menanyakan latar belakang pendidikan saya. Oiya, pewawancara ini sangat santai, bersahabat dan ramah. Sehingga saat sesi tes wawancara, saya dan pewawancara itu seperti ngobrol biasa dan santai.

Nah, setelah itu, dia tertarik dengan kemampuan yang saya tulis di berkas lamaran kerja. Memang pada waktu itu, saya menuliskan kelebihan dan kekurangan saya di salah satu berkas yang dikumpulkan. Pada point kelebihan, saya tulis jika saya bisa menulis.

Lalu, pewawancara ini bertanya kepada saya, begini pertanyaannya, “ Saudara Nugraheni suka menulis?” . Lalu saya jawab, “Iya, Pak. Saya suka menulis.”  Lalu dia mengangguk – anggukan kepala saat dia mendengar jawaban saya. Kemudian, dia bertanya lagi, “ Apa yang menjadi target Saudara Nugraheni untuk lima tahun kedepan?” . Saya pun menjawab dengan santai walau agak grogi, “ Saya ingin terus mengarang dan menulis. Tapi, saya juga ingin punya tambahan pekerjaan.”

Lalu, pewawancara itu tersenyum aneh, ia diam sejenak sambil membolak – balik berkas lamaran kerja saya. Lalu dia bertanya, “Ada yang ingin saudara Nugraheni tanyakan?”. Saya diam sejenak lalu berkata, “Emm, tidak, Pak.” . Setelah itu, pewawancara menutup wawancara, ia bilang jika saya lolos wawancara maka saya akan ditelepon. Saya pun tidak menanyakan kapan pengumuman lolos / tidak lolos akan diumumkan. Selesai wawancara, saya telepon kakak saya untuk menjemput saya. Sampai dirumah, saya menunggu pemberitahuan dari hasil wawancara tersebut. Akan tetapi, berhari – hari bahkan berminggu berlalu, saya tidak pernah mendapat telepon. Saya mengartikan, jika saya tidak diterima di perusahaan lembaga keuangan ini.

Berhubung saya ini orang yang suka berpikir, merenung dan menganalisis sesuatu, saya menganalisis mengapa saya tidak lolos wawancara. Pertama yang terlintas di otak saya adalah, saya belum mendapat rejeki. Lalu yang kedua, apakah ada yang salah dengan jawaban wawancara itu? Saya mencoba mencari artikel tips – tips untuk menghadapi wawancara kerja.

Dari sekian banyak artikel tips – tips itu, ada pertanyaan yang mirip dengan pertanyaan yang diajukan kepada saya. Pertanyaan itu begini, “Coba gambarkan diri anda dalam waktu lima tahun kedepan?”. Penulis artikel menyarankan supaya saat menjawab pertanyaan ini, pelamar kerja harus menjawab sesuai dengan posisi yang dilamar. Misalnya, jika pelamar mendaftar posisi untuk MT maka dijawab begini, “Pada lima tahun kedepan saya akan menjadi kepala manager yang berprestasi”.

Kemudian saya berpikir, “Wah berarti jawaban saya pada waktu diwawancari itu tidak tepat, ya? Saya menjawab jika saya ingin menjadi pengarang.” Waktu itu, saya memang ingin sekali menjadi pengarang buku yang handal. Bahkan. Pada saat itu, saya sedang sibuk – sibuknya menawarkan naskah buku kepada banyak penerbit.

Ketika saya ikut tes wawancara di sebuah perusahaan retail 1

Usaha retail modern banyak menjamur di tanah air, akhir – akhir ini. Mereka membuka cabang dimana – mana. Berhubung mereka membuka cabang dimana – mana, maka secara otomatis mereka membutuhkan banyak tenaga kerja salah satunya MT. Saya daftar saja lowongan kerja ini. Syukurlah, saya ditelepon untuk ikut tes di luar kota. Seperti biasa, saya ikut tes dari pagi hingga sore hari. Pengumuman lolos ke tahap berikutnya akan diumumkan sore itu juga, syukurlah saya lolos ke tahap selanjutnya yaitu FGD dan wawancara.

Hari berikutnya, saya ikut tes FGD dan wawancara. FGD lolos karena pada saat saya kuliah dulu, saya sering sekali kerja kelompok sehingga saya sudah terbiasa ngomong – ngomong di dalam forum seperti itu. Lolos FGD, saya ikut tes wawancara. Pada perusahaan retail ini, wawancara ada dua tahap. Pertama, wawancara dengan pihak perwakilan perusahaan yang ada di lokasi tes. Jika lolos tahap pertama wawancara maka ada wawancara kedua dengan menggunakan Skype. Peserta yang lolos wawancara tahap satu akan berskype ria dengan kepala manager di luar kota sana (kota induk dimana pusat perusahaan tersebut berada).

Pada wawancara tahap pertama ini, ada banyak pertanyaan yang dilemparkan kepada saya. Berhubung saya ini orang yang sering grogi maka saya pun dilanda grogi saat wawancara ini. Jika saat orang lain mengalami grogi maka orang tersebut akan menjawab pertanyaan dengan suara bergetar dan orang tersebut juga tidak berani menatap wajah si pewawancara. Maka saya sebaliknya, jika saya grogi maka saya akan menatap tajam ke mata si pewawancara sekaligus suara saya akan terdengar keras saat berkata – kata. Hal ini sering terjadi saat saya dulu ikut ujian lisan pada waktu kuliah. Saya akan menatap tajam mata dosen sekaligus saya akan menjawab pertanyaan dosen dengan suara yang keras.

Pewawancara waktu itu bertanya tentang organisasi apa yang saya ikuti, saya disuruh menceritakan diri saya sendiri dan banyak lagi. Hingga akhirnya, si pewawancara bertanya, “Jika dalam satu tim, pendapat Saudara Heni ditentang oleh rekan – rekan kerja Saudara. Apa yang  akan Saudara Heni lakukan?”

Saya menjawab dengan keras, tegas dan penuh percaya diri walaupun sebenarnya saya deg – degan. “Saya akan mempertahankan pendapat saya. Karena setiap saya berpendapat pasti ada dasarnya. Saya tidak sembarangan berpendapat.” Begitu kata saya.

Pewawancara itu menganggukkan kepalanya. Lalu dia berkata lagi, “Walaupun pendapat saudara itu bertentangan dengan peraturan perusahaan?” tanya dia lagi. “Iya!” begitu jawaban saya. Saya menjawab dengan cepat dan tanpa ragu – ragu.  Sekali lagi, pewawancara itu tersenyum aneh.

Setelah pewawancara itu mendengar jawaban saya yang lugas itu dia pun menutup wawancara. Mungkin, pewawancara itu tidak tertarik lagi dengan saya. Pengumuman wawancara diumumkan hari itu juga. Daftar pengumuman peserta yang lolos di tempel di pintu masuk ruang wawancara. Waktu itu, saya ikut tes di sebuah universitas swasta di Yogyakarta. Dan… saya tidak lolos wawancara tahap satu.

Sampai dirumah, saya cerita pengalaman saya kepada kakak, ayah, ibu dan adik saya. Termasuk saya cerita tentang pertanyaan jika pendapat saya ditentang maka apa yang akan saya lakukan? Komentar mereka sama, mereka bilang jika saya bodoh. Bahkan, adik saya yang masih SMA bilang kepada saya, “Saat wawancara tu, kamu mesti bilang yang baik – baik saja!”.

Kakak saya juga berkomentar, “ Seharusnya, kamu bilang jika pendapat saya ditentang maka saya akan mendiskusikan lagi pendapat saya kepada teman – teman satu tim supaya mereka mengerti dan memahami pendapat saya. Jika pendapat saya memang berakibat fatal bagi perusahaan maka saya harus menerima penolakan dari teman – teman satu tim.” begitu kata kakak saya sok tahu. Hahaha

Yah tapi mau bagaimana lagi, kalau memang bukan rejeki ya tidak boleh mencari – cari alasan jika tidak lolos tes wawancara. Tapi, memang alangkah baiknya jika kita harus pintar pintar mencari strategi untuk menjawab pertanyaan pewawancara supaya kita bisa lolos seleksi.

Ketika saya ikut tes wawancara di sebuah perusahaan retail 2

Saya belum kapok untuk ikut tes seleksi lowongan kerja di perusahaan retail. Karena saya tertarik dengan cara kerja di perusahaan retail. Kali ini, saya mendaftar di perusahaan retail besar dari luar negeri. Perusahaan retail ini berpusat di Eropa dan memiliki cabang di Amerika dan Asia (termasuk di Indonesia).

Saya mendaftar lewat email, dua minggu kemudian saya diundang tes psikologi di sebuah Universitas swasta di Yogyakarta. Saya pergi ke Jogja diantar oleh kakak sepupu saya. Saya ikut tes psikologi dari jam satu siang hingga jam lima sore (Kalau tidak salah, itu seingat saya).

Dua minggu setelah saya ikut psikotes, saya diundang lagi untuk ikut tes tahap akhir. Tes akan diadakan jam 7 pagi di sebuah universitas swasta di Jogja. Saya berangkat dari rumah jam setengah 5 pagi. Saya sampai di lokasi jam enam lebih. Saya datang paling awal karena universitas itu masih sangat sepi. Kakak saya menemani saya hingga ada peserta lain yang datang. Kakak saya pergi setelah ada beberapa peserta datang.

Detik berlalu, menit berlalu, jam berlalu…Ternyata tes tidak dilakukan tepat jam 7 pagi,tes dimulai jam 9 lebih.

Tahap pertama, yaitu pengenalan profil perusahaan. Setelah itu tes FGD, kemudian, dilanjutkan tes wawancara. Untuk tes wawancara ini, dilakukan satu persatu, kepala saya ni pusing sekali karena dari pagi hari saya belum makan.

Singkat kata singkat cerita, saya dapat kesempatan wawancara pukul setengah empat sore. Saya tidak sholat dhuhur karena di universitas itu tidak menyediakan tempat sholat. Saya juga tidak berani keluar untuk sholat dhuhur karena saya takut jika nanti saat saya dipanggil tapi ternyata saya tidak ada. Akhirnya, saya sholat duhur dijama’ dengan sholat ashar. (Kemudian, pada akhirnya saya menyesali perbuatan saya itu).

Waktu itu, pewawancara ada dua orang. Satu laki- laki dan satu perempuan. Saya dipanggil dengan Mbak Heni. Pertanyaan demi pertanyaan diberikan kepada saya. Mulai dari ceritakan skripsi kamu, ceritakan pengalaman kerja kamu, dimana kamu berasal dll.

Hingga akhirnya, si pewawancara laki – laki bertanya, “Jika dilihat dari latar belakang pendidikan kamu dan skripsimu? Maka hal itu tidak sesuai dengan perusahaan kami, Mbak Heni.” kata laki – laki itu.

Seharusnya, saya menjawab statement pria itu dengan perkataan begini, “Itu tidak masalah, Pak… Saya orang yang suka tantangan dan suka mempelajari hal – hal yang baru.” (Tapi, saya tidak menjawab seperti itu). Saya malah menjawab, “Oh! Tentu saja ada hubungan antara latar belakang pendidikan dan skripsi saya dengan perusahaan retail ini, Pak.” Begitu perkataan saya sambil menelan ludah untuk sedikit menghilangkan rasa grogi saya.

“Pada waktu saya kuliah. Saya diajari bagaimana cara mendirikan supermarket maupun mini market yang sesuai dengan tata ruang kota dan wilayah. Untuk mendirikan sebuah supermarket dan minimarket tidak hanya diperlukan faktor strategis saja, tapi juga harus memperhatikan jangkauan pelayanan, jumlah penduduk dan luas wilayah. Untuk mendirikan sebuah supermarket / minimarket juga harus memperhatikan tata ruang kota supaya kota menjadi teratur.” jawab saya seperti itu dengan menahan grogi.

Saya memang sudah berniat mulia, jika kelak saya diterima di perusahaan retail ini, saat perusahaan akan membuka cabang baru saya berharap saya bisa ikut menyumbang pendapat saya yaitu saat menentukan lokasi pendirian toko retail harus berdasarkan pada standar – standar yang telah diajarkan pada saat saya menimba ilmu. Saya ingin menerapkan ilmu yang saya pelajari, begitu niat saya. Karena hati saya tergelitik saat saya sering melihat ada dua buah mini market berdiri di dekat pasar tradisional sedangkan letak mereka juga berdekatan dengan pusat perbelanjaan.

Saat dua pewawancara itu mendengar jawaban saya, kedua orang itu saling berpandangan. Entah apa yang mereka pikirkan. Setelah mereka berpandangan maka si pewawancara perempuan berkata, “Ada yang ingin Mbak Heni tanyakan?”. Saya pun menjawab tidak. Wawancara pun selesai. Saya dipersilahkan pergi. Pengumuman lolos atau tidak diumumkan lewat internet.

Dua hari berlalu, saya buka email dan saya mendapat pemberitahuan jika saya “Tidak Lolos”. Saya sudah bisa menebak jika saya tidak lolos karena saya merenungkan kembali jawaban dari pertanyaan – pertanyaan saat wawancara. Apalagi, saat saya ditanya jika latar belakang pendidikan saya tidak sesuai dengan perusahaan retail itu. Tapi, ketika saya berkenalan dengan peserta lain, jurusan mereka kuliah juga tidak ada hubungannya dengan perusahaan retail (ada yang dari jurusan sosial politik, bahasa inggris dll).

Yah, mau bagaimana lagi? Memang Tuhan belum memberikan rejeki untuk saya, padahal niat saya sungguh mulia, jika diterima bekerja di perusahaan retail itu saya ingin menyumbangkan ilmu yang telah saya dapat. Yaitu ilmu jika pendirian sebuah supermarket / minimarket ataupun sarana pelayanan lainnya (baik itu rumah sakit, lembaga keuangan, dll)  harus sesuai dengan tata ruang kota.

Sekian cerita tentang kebodohan saya, saya berpesan jika pembaca yang budiman akan mengikuti tes wawancara pada sebuah perusahaan. Jika pembaca yang budiman mendapat pertanyaan yang sama dengan yang saya alami, jangan pernah meniru jawaban – jawaban saya tadi, ya! Pembaca yang budima harus pintar mengatur strategi saat menjawab pertanyaan dan benar kata adik saya jika saat menjawab harus yang baik – baiknya saja, jangan terlalu jujur menceritakan kelemahan dan isi hati kita.  🙂 🙂 🙂 🙂 🙂 🙂 .  Tetap semangat dan terus berusaha untuk mewujudkan apa yang kita cita – citakan, ya!

11 tanggapan untuk “Kisah Tes Wawancara yang Tidak Usah Ditiru

  1. saya juga pernah interview.
    saya menjawab dengan tepat semua pertanyaannya tapi entah kenapa sampai 2 minggu aku nggak di panggil.
    pengen rasanya menonjok mukanya HRD itu.

    Suka

  2. sangat menginspirasi pengalaman dari mbak heni. hal ini bisa menjadi tolak ukur bagi saya saat
    wawancara nanti.
    salam semangat mbak
    🙂

    Suka

Tinggalkan Balasan ke Dimas Batalkan balasan